Mengungkap Keanekaragaman Morfologi Tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia L.) : Merintis Jalan Panjang Menuju Upaya Seleksi Dan Pemuliaan

Oleh Suratman
Tanaman mengkudu (Morinda citrifolia L.) adalah salah satu tanaman yang sudah dimanfaatkan sejak lama hampir di seluruh belahan dunia. Di negeri Cina, laporan-laporan mengenai khasiat tanaman mengkudu telah ditemukan pada tulisan-tulisan kuno yang dibuat pada masa dinasti Han sekitar 2000 tahun lalu. Di Hawaii, mengkudu malah telah dianggap sebagai tanaman suci karena ternyata tanaman ini sudah digunakan sebagai obat tradisional sejak lebih dari 1500 tahun lalu. Mengkudu telah diketahui dapat mengobati berbagai macam penyakit, seperti tekanan darah tinggi, kejang, obat menstruasi, artistis, kurang nafsu makan, artheroskleorosis, gangguan saluran darah, dan untuk meredakan rasa sakit (McClatchey, 2002; Djauhariya, 2003).
Di Indonesia, tanaman mengkudu juga sudah mulai dibudidayakan sejak lama. Menurut Heyne (1987), daerah Sudimara (Jakarta) dilaporkan telah menjadi salah satu pusat budidaya mengkudu di pulau Jawa pada tahun 1910. Usaha budidaya mengkudu ini dilakukan secara teratur di tanah-tanah tegalan yang sebelumnya dibajak terlebih dahulu untuk mendapatkan kulit akarnya. Hal ini disebabkan kulit akarnya dapat dimanfaatkan sebagai zat pewarna dalam industri kain tenun dan batik. Di samping kult akarnya, hampir semua bagian tanaman mengkudu — terutama buahnya yang mengandung berbagai zat berkhasiat obat — ternyata dapat pula dimanfatkan. Bukti pemanfaatan mengkudu pada masa lampau juga dapat dilihat dengan masih diketemukannya tanaman mengkudu yang tumbuh di museum koleksi tanaman di keraton-keraton kerajaan. Di Keraton Surakarta Hadiningrat misalnya masih dapat dijumpai adanya pohon mengkudu yang tumbuh dan diperkirakan sudah berumur lebih dari 100 tahun. Hal ini terutama berkaitan dengan penggunaan buah mengkudu tersebut dalam ritual pemandian benda-benda pusaka milik keraton terutama keris yang telah berlangsung cukup lama.
Dari hasil penelitian secara ilmiah dapat pula dibuktikan bahwa hampir semua bagian tanaman mengkudu mengandung berbagai senyawa yang berguna dan berkhasiat obat. Oleh karena itu akhir-akhir ini tanaman tersebut sedang mendapat perhatian besar dari dunia – terutama dunia pengobatan — karena adanya fakta empiris dan bukti penelitian ilmiah bahwa buah mengkudu ternyata berkhasiat dalam penyembuhan berbagai penyakit degeneratif yang sulit disembuhkan seperti kanker, diabetes, tumor dan lain sebagainya (Bangun dan Sarwono, 2002; McClatchey, 2002).
Akhir-akhir ini banyak petani telah mulai membudidayakan mengkudu secara intensif karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang menjanjikan. Hal ini mengingat karena hampir semua bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan, daya adaptasinya yang luas serta mudah dibudidayakan dan diproses menjadi produk skala industri rumah tangga (Djauhariya, 2003).
Mengkudu sebagai salah satu tanaman budidaya telah mengalami serangkaian proses panjang dan berliku dalam domestikasi, seleksi dan pemuliaan yang dilakukan oleh petani. Dengan upaya domestikasi, seleksi dan pemuliaan terhadap tanaman yang semula liar tersebut maka baru sekaranglah kita bisa mendapati tanaman mengkudu sebagai tanaman budidaya yang lebih unggul. Hal itu juga berarti bahwa tanaman mengkudu di masa lalu belum tentu seunggul di masa kini.
Walaupun kini mengkudu telah mulai dibudidayakan secara luas tetapi mengkudu juga tetap akan mengalami suatu masa peralihan dari bentuk tanaman liar (wild) menuju tanaman budidaya (cultivated) yang komersial. Dalam masa peralihan ini maka diperlukan usaha yang harus dilakukan secara bersama-sama dalam hal meningkatkan hasil panen di satu pihak dan penyeleksian varietas mengkudu yang berkualitas dan diinginkan di lain pihak. Untuk dapat memperbaiki hasiI panen dan menyelenggarakan seleksi ini maka petani harus mampu untuk mengetahui tentang keanekaragaman yang ditemukan di dalam jenis dan kerabat dekat mengkudu.
Pengenalan keanekaragaman ciri – ciri tanaman merupakan salah satu upaya pencirian (characterization) yang merupakan langkah penting bagi para petani dalam mengelasifikasikan tanaman budidayanya. Dengan adanya pencirian maka pola variasi pada tanaman budidaya dan kerabat liarnya akan dengan mudah terpetakan dan dipertelakan sehingga setiap jenis tanaman budidaya Indonesia nantinya akan tercirikan dengan satu atau beberapa karakter pengenal, dapat dipertelakan dengan tegas dan jelas terbedakan dari kultivar lain (Rifai, 2006). Dengan pencirian yang kuat maka upaya seleksi dan pemuliaan tanaman budidaya akan menjadi lebih mudah untuk dilaksanakan.
Pencirian haruslah dibuat berdasarkan pada seperangkat ciri yang layak dan mantap. Analisis klasik yang telah lama dilakukan dalam pencirian ini adalah berdasarkan ciri morfologi — yang dapat dicirikan dari penampakan fenotipik — seperti akar, batang, daun, bunga, buah serta biji.
Keanekaragaman pada perawakan, sifat kulit akar, bentuk dan ukuran daun, bentuk dan ukuran buah, jumlah biji per buah dan lainnya boleh jadi merupakan salah satu keanekaragaman ciri morfologi yang dapat dijadikan sebagai batu pijakan di dalam penyeleksian varietas, ‘‘calon varietas” atau malah jenis tersendiri dari mengkudu.
Perawakan tanaman mengkudu bervariasi dari bentuk perdu, pohon kecil hingga pohon, baik yang bercabang banyak atau sedikit dengan ketinggian berkisar 0.8 – 12 meter. Tanaman mengkudu yang berperawakan perdu atau pohon kecil yang bercabang banyak akan lebih menguntungkan karena dapat berpeluang menghasilkan buah yang relatif lebih banyak dan mudah dalam pemanenan karena dapat memungkinkan orang lebih mudah untuk memetik buah sehingga pemanenan buah mengkudu juga dapat menjadi lebih praktis. Tanaman mengkudu yang berperawakan pohon dengan ketinggian bisa mencapai 12 meter kadangkala juga dapat merepotkan terutama jika harus melakukan penyemprotan hama karena harus mencapai tajuk tanaman yang cukup tinggi.
Tanaman mengkudu dengan kulit akar yang lebih tebal juga akan lebih menguntungkan sebagai penghasil pewarna jika dibandingkan dengan tanaman mengkudu yang kulit akarnya lebih tipis. Hal ini dikarenakan karena dalam kulit akarnya terkandung senyawa morindon dan morindin yang dapat memberikan warna merah dan kuning (Groenendijk, 1992; Sukenti, 2002). Sebagai catatan, kulit akar mengkudu telah lama digunakan sebagai pewarna dalam industri batik di pulau Jawa terutama daerah pulau Jawa bagian tengah. Bahan ini biasanya dicampur dengan jirek atau tawas (Symplocos sp.) atau sasah (Aprorosa frutescens Bl.) yang berfungsi sebagai penajam warna. Dalam hal ini pembatik-pembatik dari Yogyakarta dan Solo lebih sering memakai pewarna dari mengkudu yang lebih tua jika dibandingkan dengan pembatik-pembatik dari Pekalongan yang lebih menggemari warna yang jernih dan segar (Heyne, 1987).
Daun tanaman mengkudu mempunyai berbagai macam bentuk seperti membulat telur lebar atau lonjong melebar hingga lonjong memanjang. Dalam hal ini tanaman mengkudu yang berdaun lebar dan besar akan dapat berpeluang sebagai bahan obat. Menurut Heyne (1987), daun-daun yang terbesar dan terlebar dapat digunakan untuk mengobati masuk angin dan sakit perut dengan cara diikatkan di atas perut dan pinggang setelah sebelumnya diolesi dengan minyak telon dan dipanasi. Di samping itu, daunnya yang lebar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayuran atau pelengkap masakan. Nelson (2006) dan Burkill (1935) melaporkan bahwa daun mudanya dapat dimakan sebagai sayur di pulau Jawa atau digunakan juga sebagai daun pembalut pepesan daging atau ikan sedangkan di Semenanjung Malaya daun tuanya dimanfaatkan untuk membungkus makanan ketika dimasak.
Selain itu, masyarakat di Hawai juga telah mengenal tanaman mengkudu yang mempunyai daun hijau bercorak keputihan yang cukup dominan di sekitar tulang daunnya. Tanaman mengkudu ini kemudian dikenal dengan Morinda citrifolia L. cv. Potteri — sebagai suatu varietas hasil persilangan — dan telah dimanfaatkan secara luas di Hawai dan berbagai kepulauan di Pasifik sebagai tanaman hias yang eksotik.Tanaman yang unik ini diketahui telah dibawa oleh Otto Degener pada tahun 1949 sebagai introduksi dari Fiji dan kemudian berkali-kali disilangkan di Hawai sampai menghasilkan corak daun yang unik jika dibandingkan dengan kerabat dekatnya yang cenderung berwarna hijau polos (Smith, 1988; McClatchey, 2003). Namun karena kultivar tersebut tidak terdapat di Indonesia, maka para pemulia belum banyak yang tertarik untuk mengidentifikasi sifat-sifat pentingnya selain hanya fungsinya yang diketahui baru terbatas sebagai tanaman hias.
Buah dari tanaman mengkudu diketahui ada yang berbiji sedikit dan sebagian lagi berbiji banyak. Buah mengkudu yang berbiji sedikit tentunya lebih disukai orang karena lebih mudah untuk mengkonsumsinya jika dibandingkan dengan buah mengkudu yang memiliki biji banyak — yang membuat orang lebih enggan untuk memakannya — karena repot dan demi alasan kepraktisan semata. Di kalangan masyarakat, buahnya yang berbenjol tidak beraturan itu telah digunakan secara luas sebagai bahan rujak terutama buah yang setengah masak. Banyak sedikitnya biji pada buah mengkudu tentunya dapat ikut menentukan tingkat kesukaan orang dalam memilih buah mengkudu sebagai bahan rujak tersebut.
Bentuk dan ukuran buah mengkudu ternyata juga beranekaragam, ada yang berukuran besar dengan berbentuk lonjong, memanjang dan membulat atau juga ada yang berukuran lebih kecil dengan berbentuk lonjong atau membulat. Buah mengkudu yang berukuran besar diperkirakan akan lebih menguntungkan untuk dibudidayakan karena dapat menghasilkan volume sari buah yang lebih besar. Seperti diketahui, di dalam sari buah mengkudu terkandung berbagai senyawa penting yang sangat berguna dalam pengobatan dan nutrisi seperti Vitamin A, Vitamin C, Vitamin A, Niamcin, Thiamin, Riboflavin, Besi, Kalsium, Natrium, Kalium, Protein, Lemak, Karbohidrat dan Kalori (Solomon, 1998). Hirazumi dan Furuzawa (1999) melaporkan bahwa sari buah mengkudu dapat berperan sebagai efek anti tumor pada tikus percobaan karena adanya kandungan polisakarida pada sari buah mengkudu yang dapat merangsang respon kekebalan tubuh. Wan dan Su (2001) melaporkan pula bahwa sari buah mengkudu juga mempunyai efek pencegahan pada tahap awal pembentukan sel kanker yang diinduksi pada jantung, paru-paru, hati, dan ginjal tikus percobaan.
Beberapa contoh keanekaragaman morfologi di antara tanaman mengkudu di atas menuntun kita pada suatu kenyataan tentang adanya keanekaragaman genetik yang besar di dalam jenis (intraspecific genetic diversity). Keanekaragaman ini secara tidak langsung juga berhubungan dengan pola penyerbukan pada tanaman mengkudu itu sendiri. Sampai saat ini memang belum ada penelitian resmi yang telah dilaporkan tentang penyerbukan pada tanaman mengkudu tetapi nampaknya tanaman ini mampu untuk menyerbuk sendiri (self-pollinated) sehingga keanekaragaman yang terjadi di dalam mengkudu lebih banyak terwakili oleh adanya variasi pada individu (McClatchey, 2003). Penyerbukan mengkudu sebenarnya dapat dilaksanakan dengan sistem penyerbukan sendiri maupun silang tetapi penyerbukan silang sepertinya lebih baik terutama apabila pada suatu lokasi budidaya terdiri dari banyak varietas sehingga bibit sebagai hasil persilangan akan lebih besar variasi morfologinya (Djauhariya, 2003).
Pengetahuan tentang adanya keanekaragaman morfologi ini dapat dianggap sebagai kunci awal untuk membuka rahasia atau tanda tentang kehadiran keanekaragaman genetik yang sangat berguna dalam seleksi dan pemuliaan mengkudu sebagai tanaman budidaya. Bermawie dkk.. (2003) dan Hetharie (2003) memperkuat pendapat ini dengan menyatakan bahwa keberhasilan program seleksi dan pemuliaan tanaman budidaya akan sangat tergantung kepada tersedianya keanekaragaman genetik yang luas, karena keanekaragaman genetik yang luas akan memberikan hasil secara terus-menerus dan mampu untuk selalu tanggap terhadap perubahan lingkungan dan penyakit. Sebaliknya jika keanekaragaman yang dimiliki sempit, maka hasil yang dicapai melalui seleksi akan lambat dan bahkan akan meningkatkan resiko terjadinya krisis yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Keanekaragaman genetik juga merupakan hal yang sangat penting dalam pemuliaan karena perbaikan suatu sifat tanaman akan sangat terbantu dengan ditemukannya berbagai sumber gen
Oleh karena itu langkah penting yang perlu segera dilakukan di dalam upaya meningkatkan keanekaragaman mengkudu ini adalah dengan mengumpulkan plasma nutfah melalui pertukaran atau introduksi. Manfaat plasma nutfah bagi keberhasilan program seleksi dan pemuliaan tanaman memang telah lama diketahui dengan baik. Sekalipun demikian, pemanfaatan plasma nutfah — termasuk plasma nutfah mengkudu — terutama di negara berkembang seperti Indonesia mengalami banyak kendala karena : (1) terbatasnya jumlah koleksi yang dimiliki dan sering kali tidak memiliki data akurat tentang keanekaragaman ciri yang diperlukan oleh pemulia tanaman; (2) terbatasnya kegiatan pencirian dan evaluasi sehingga potensi plasma nutfah sebagai sumber untuk sifat-sifat penting tidak diketahui ; serta (3) terbatasnya tenaga pemulia yang berkualitas.
Sampai saat ini memang belum ada laporan resmi yang menyebutkan tentang besaran dan persebaran plasma nutfah mengkudu di Indonesia tetapi mengingat sifat tanaman mengkudu yang kosmopolit dan mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas maka tidak berlebihan kiranya jika plasma nutfah mengkudu di Indonesia juga diperkirakan lumayan besar. Sebagai catatan pula, mengkudu dapat tumbuh hampir di seluruh kepulauan Indonesia dan umumnya berupa tumbuhan liar di pantai, di ladang, di pinggiran kota dan perkampungan, atau sengaja ditanam di pekarangan sebagai tanaman obat. Suriawiria (2001) juga menyebutkan bahwa mengkudu telah dikenal secara luas di kawasan Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai Sumba, Sumbawa, Flores, dan Irian (Papua).
Dengan demikian agar plasma nutfah mengkudu dapat dimanfaatkan secara optimal maka perlu segera dilakukan pembuatan prioritas dalam kerja koleksi dan inventarisasi, mengidentifikasi ciri-ciri penting yang berguna, memperbesar keanekaragaman untuk ciri – ciri tertentu pada populasi yang digunakan, mempelajari biologi bunga dan sistim penyerbukan dari koleksi yang akan digunakan, mempelajari kesesuaian persilangan intra dan antar jenis serta melakukan pendekatan antardisiplin, misalnya untuk evaluasi ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik serta penyakit.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengadakan seleksi terhadap ciri-ciri yang berguna — seperti mempunyai produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap kekeringan dan lainnya – dalam rangka untuk menentukan jenis yang bisa dijadikan sebagai tetua unggulan. Persilangan mengkudu dapat memberikan peluang keberhasilan yang cukup luas karena tanaman ini dapat menghasilkan biji sehingga akan sangat membantu dalam hal perbanyakan tanamannya.
Untuk menjamin kepastian hasil dan produktivitas tanaman tersebut memang masih perlu untuk melakukan uji multilokasi dengan tujuan untuk mengetahui keunggulan dan interaksi varietas tersebut terhadap lingkungan yang berbeda, sebagai persyaratan utama dalam pelepasan varietas. Hal ini disebabkan penampilan daya hasil dan mutu tanaman budidaya merupakan hasil interaksi antara genotipe tanaman dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Selanjutnya setelah didapat nomor-nomor yang berdaya hasil dan bermutu tinggi — baik dari spesifik lokasi maupun secara nasional — barulah dapat dilepas sebagai varietas unggul. Varietas unggul hasil pemuliaan tersebutlah yang kemudian dapat disebarluaskan ke petani, dan dimanfaatkan secara luas pula oleh para pengguna lainnya.
Nampaknya jalan menuju upaya seleksi dan pemuliaan tanaman mengkudu di Indonesia masihlah panjang dan berliku tetapi sebenarnya itu bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Upaya seleksi dan pemuliaan tanaman budidaya ini memang bukan tanggungjawab para pemulia semata tetapi kita pun bisa memulai dengan hal sederhana seperti halnya ikut serta mengumpulkan jenis-jenis tanaman mengkudu yang dianggap mempunyai ciri-ciri unggul. Bukan suatu hal yang mencengangkan kiranya jika pertanyaan klise semacam ini masih akan seringkali bergema keras dan mengetok – ngetok gendang telinga kita ketika tanggungjawab seleksi dan pemuliaan tanaman budidaya kembali dilontarkan : Kalau bukan kita, terus siapa lagi?. Semoga pertanyaan semacam ini akan segera terjawab dengan adanya bukti kerja dan tindakan nyata dari kita semua.

Tinggalkan komentar